10 April 2025
Berita
Harus terdapat tanggungjawab bersama antara jaksa dan penyidik dalam penanganan perkara. Jaksa dapat mengkonfirmasi dan kroscek verbal berita acara pemeriksaan, sehingga tidak sebatas koordinasi formal.
Luasnya kewenangan penyidik an penyelidik sebagaimana diatur dalam draf Revisi UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) diperlukan supervisi intensif dan bersifat melekat dalam proses penyidikan. Peran jaksa sebagai penuntut umum menjadi penting agar proses penanganan berkas perkara menjadi lebih terkoordinasi dengan maksimal.
Ketiadaan supervisi berpotensi kuat terjadinya dugaan rekayasa fakta seperti halnya dalam penanganan kasus Ferdi Sambo, Teddy Minahasa hingga Vina Cirebon. Banyak fakta yang tidak terungkap dengan terang dan jelas. Lantas latar belakang apa yang memberi keleluasaan kewenangan penyidik sementara membatasi kewenangan penuntut umum dalam penentuan sikap terhadap hasil penyidikan suatu perkara pidana?.
Dosen hukum acara pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Azmi Syahputra berpandangan perlu ditelisik alasan di balik pembatasan kewenangan terhadap jaksa selaku penuntut umum. Menurutnya koordinasi antara penyidik dan penuntut umum tak boleh lagi sebatas formal semata. Tapi mesti dibunyikan dalam pasal RKUHAP.
Menurutnya pengaturan penanganan berkas perkara yang bolak balik tertuang dalam Pasal 26 draf RKUHAP. Nah, implementasi pengolahan bolak-baliknya berkas perkara tergambar gamblang. Pasal 26 ayat (3) menyebutkan, “Penuntut Umum dan Penyidik melakukan koordinasi dan konsultasi secara intensif dalam waktu paling lama 2 (dua) Hari terhitung sejak pemberitahuan berkas belum lengkap”.
“Koordinasi di situ tidak sebatas formal,” ujarnya saat berbincang dengan Hukumonline, Kamis (20/3/2025) kemarin.
Dalam KUHAP eksisting hanya memberikan waktu penelitian berkas sebatas 14 hari. Kondisi tersebut menyebabkan banyaknya berkas perkara bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum dan/atau terjadinya kegagalan penuntutan karena tidak optimalnya penyidikan. Pengaturan tersebut bentuk membatasi kewenangan penuntut umum dalam menilai dan meneliti hasil penyidikan suatu perkara dengan hanya memberikan waktu singkat.
Azmi berharap betul ada satu pasal yang mengatur khusus dalam hal tertentu agar jaksa tidak ‘terkecoh’ dalam penanganan perkara, maka penuntut umum dapat cek kroscek secara verbal. Maklum berkas perkara ‘mentah’ dikirim penyidik penuntut umum. Oleh karenanya menjadi penting penuntut umum mengetahui secara menyeluruh penanganan maupun berkas perkara yang diproses penyidik. Sebab pihak yang bertanggungjawab di persidangan membuktikan bukti perkara adalah penuntut umum.
“Jadi nanti dalam Pasal 26 supaya ada bareng tanggungjawab bersama, jadi jaksa itu bisa dalam keadaan tertentu kroscek secara verbal BAP, termasuk bisa menyatakan melalui penyidik. Nah ini harus masuk di dalam Pasal 26, jadi tidak hanya sebatas koordinasi formal,” ujarnya.
Masih soal Pasal 26 ayat (3), Azmi protes keras. Menurutnya rumusan norma mengatur’… koordinasi dan konsultasi secara intensif dalam waktu paling lama 2 (dua)..’. Waktu selama dua hari dinilai perlu ada penambahan. Dia membayangkan bila perkara yang ditangani penyidik sulit untuk dibuktikan dan memerlukan waktu panjang. Sebut saja perkara mantan Ketua KPK Firli Bahuri yang prosesnya masih menggantung di penyidikan hingga kini.
“Lho kalau perkaranya sulit apa bisa?. Coba dihadapkan masalah Jenderal Firli kasusnya P19 gantung terus, gimana coba,” katanya.
Karenanya diperlukan ruang waktu yang cukup. Baginya koordinasi dan konsultasi antara penuntut umum dengan penyidik dalam penanganan perkara yang sulit membutuhkan waktu cukup. Dia mendorong agar ada perbaikan rumusan norma soal pengaturan waktu supervisi dan koordinasi yang dilakukan penuntut umum terhadap penyidik.
“Itu yang perlu dipikirkan. Kalau ada yang begitu tidak saja bebannya jaksa, tapi penyidiknya bisa ditarik. Selama ini yang dipraperadilkan jaksa yang dipersalahkan,” katanya.
Persoalan lain yang disorot pria yang juga menjabat Sekretaris Jenderal Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) itu soal gelar perkara. Mengacu Pasal 26 ayat (9) draf RKUHAP menyebutkan, “Dalam hal Penuntut Umum berpendapat hasil Penyidikan tambahan masih belum lengkap maka Penyidik mengundang Penuntut Umum untuk melakukan gelar perkara”. Bagi Azmi menjadi aneh penuntut umum yang menilai dan menyatakan tidak lengkap berkas perkara yang diproses penyidik, namun yang mengundang gelar perkara malah polisi.
“Ini aneh, padahal yang bertanggung jawab di persidangan adalah penuntut umum. Ini tidak sinkron nanti di pasal berikutnya, ada nanti tentang gelar perkara,”imbuhnya.
Penyidikan dan penuntutan satu kesatuan
Pakar hukum acara pidana, Prof Suparji Ahmad menambahkan, penuntut umum memang sebagai pihak yang mempertanggungjawabkan hasil penyidikan penyidik di persidangan. Karenanya tanpa koordinasi dan konsultasi yang intens, penuntut umum seolah hanya menerima ‘barang mentah’ tanpa tahu banyak proses penyidikan. Ujngnya penuntut umum akan kesulitan dalam pembuktian di muka persidangan.
“Saya kira mekanisme itu perlu diperbaiki supaya lebih jelas tentang proporsinya. Seperti kasus Vina Cirebon itu menjadi refleksi bagaimana ditemukan keganjilan-keganjilan di kemudian hari, itulah kemudian menimbulkan masalah,” ujarnya.
Dia menilai semangat kolaborasi dan kebersamaan mesti dibangun antar penegak hukum tanpa kehilangan fungsi dari masing-masing. Namun bila dirasa terdapat kendala dalam praktiknya selama ini, maka RKUHAP perlu memperbaiki dengan mengatur khusus soal supervisi, koordinasi dan konsultasi antara penyidik dan penuntut umum dalam penyelesaian perkara.
“Kalau selama ini ada kendala soal supervisi, koordinasi, konsultasi maka perlu ada penguatan soal itu,” katanya.
Berdasarkan situasi tersebut, keterlibatan jaksa selaku penuntut umum sedari awal proses penyidikan sudah menjadi bentuk konsekuensi logis dari adanya keterbatasan waktu dalam menentukan sikap sebagaimana dianut dalam draf RKUHAP per Maret 2025. Sudah sewajarnya penyidikan saat melakukan penyidikan senantiasa berkoordinasi dan berada di bawah supervisi penuntut umum yang bertugas mengikuti perkembangan penyidikan perkara.
Tujuannya agar penuntut umum secara langsung dapat memonitor dan mereview jalannya proses penyidikan perkara. Dengan bentuk relasi supervisi, penuntut umum dapat melakukan penelitian berkas secara lebih efektif dan efisien, sehingga meminimalisir bolak-baliknya berkas perkara. Sebagaimana dianut dalam penjelasan Pasal 132 UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP, menyebutkan “Penuntutan adalah proses peradilan yang dimulai dari penyidikan’. Dengan demikian proses penyidikan dan penuntutan adalah satu kesatuan yang utuh.
10 April 2025
Berita
Acara ini sebagai wadah silaturahmi dan berbagi kebaikan kepada 100 orang anak yatim-piatu.
Ikatan Alumni Fakultas...
10 April 2025
Berita
Harus terdapat tanggungjawab bersama antara jaksa dan penyidik dalam penanganan perkara. Jaksa dapat mengkonfirmasi dan...
10 April 2025
Berita
Mengedepankan keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Pemerintah sedang merampungkan 3 RUU dan beberapa...